Kamis, 30 Januari 2014

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck [The Atjeh Post]

@kutubboekoe
Pengarang: HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Bahasa : Bahasa Indonesia, Melayu
Genre : Novel
Penerbit : Bulan Bintang
Tanggal    : 1938
Halaman : 224 (cetakan ke-22)
ISBN : 978-979-418-055-6 (cetakan ke-22)


++++++

TENGGELAMNYA Kapal Van Der Wijck. Judul buku ini tidak asing lagi bagi saya. Sejak tahun 90-an saya sudah mendengar namanya. Saat itu roman itu terkesan sangat berat bagi saya sehingga terlewatkan begitu saja.

Jelang akhir 2013 buku ini kembali ramai dibicarakan. Tak lain setelah Ram Soraya mengangkat kisah haru birunya ke layar lebar. Setelah melihat trailernya, saya pun 'kelimpungan' dan sangat ingin membacanya. Beruntung, seorang teman mau meminjamkan buku pinjamannya kepada saya. Rasanya tak sabar untuk segera melahap dan menghabiskan halaman demi halaman novel mega bestseller itu.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menceritakan kesatiran hidup tokoh utamanya Zainuddin. Pemuda itu berayahkan seorang Minang dan ibu seorang Bugis. Ia telah yatim piatu sejak kecil dan diasuh oleh seorang ibu angkat. Setelah dewasa Zainuddin yang merasa keturunan Minang merasa perlu mencari kampung asal ayahnya. Maka dengan menumpang kapal laut mulailah ia berlayar dari Sulawesi melintasi Jawa hingga sampai ke Sumatera untuk mencari Kota Batipuh di tanah Minangkabau.

Ibu dalam sekeping cerita [Koran Jakarta]

cover buku Ibu Dalam Diriku @kutubboekoe



Judul buku : Ibu dalam Diriku
Penulis : Mitsalina Maulida Hafidz dkk
Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri bekerjasama dengan Linikreatif Publishing
Tebal : x 135 halaman
ISBN : 978-602-17414-4-3 
Tahun terbit : 2013


Kehidupan seorang anak tanpa sosok ibu tentu gelap, tak berpengharapan. Tanpa menafikan peran ayah, nyatanya ibu lebih besar dalam proses tumbuh kembang anak. Ikatan emosional antara ibu dan anak yang terjalin sejak dalam kandungan berdampak hingga dewasa.

Begitulah makna tersirat dalam 15 cerpen dalam antologi cerita Ibu dalam Diriku. Kelima belas penulis dari berbagai latar belakang mampu mengemas tema-tema sederhana menjadi menggugah dan sarat makna. Mereka memadukan diksi dan narasi yang mengagumkan.

Kumpulan cerpen yang ditulis Mitsalina Maulida Hafidz dan kawan-kawan ini menggunakan gaya bahasa sederhana, tapi lugas, sehingga tak membuat monoton meskipun tema yang diangkat sangat umum. Melalui tulisan ini, pembaca diajak merenung, tanpa berpegang pada seorang ibu, manusia akan meraba-raba dalam menjalani kehidupan.

Rabu, 15 Januari 2014

Life of Pi; Novel yang membuat kita percaya pada Tuhan


“DENGAN cepat hari menjadi siang. Perasaan lemah lunglai yang fatal merayapi tubuhku. Aku pasti mati tengah hari nanti. Agar kematianku lebih nyaman, kuputuskan untuk memuaskan sedikit rasa haus tak tertahankan yang telah begitu lama kuderita. Kuteguk sebanyak mungkin air. Kalau saja ada yang bisa kumakan untuk terakhir kali. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa. Aku duduk bersandar pada tepi gulungan terpal yang berada di tengah-tengah sekoci. Kupejamkan mata, menunggu nyawaku meninggalkan raga.”

--------------------------------------
Itulah adalah salah satu paragraf yang menceritakan saat-saat di mana seorang pemuda berusia 16 tahun merasa sangat putus asa. Pemuda itu adalah Piscine Molitor Patel. Namanya yang susah disebut membuatnya menyingkat nama panggilannya menjadi Pi. Pi Patel. Pemuda itu berasal dari keluarga India; ia memiliki seorang kakak lelaki bernama Ravi.

Situasi di atas menggambarkan kondisi Pi Patel yang sedang terkatung-katung di tengah Samudera Pasifik. Kondisinya sangat menyedihkan. Dua matanya bernanah dan menyebabkan kebutaan sementara. Tubuhnya kurus kerempeng. Perut lapar dan dibelit rasa dahaga yang luar biasa. Belum lagi kulit yang semakin melegam karena terus menerus terpanggang sinar matahari. Saat hujan atau badai turun Pi Patel hanya bisa meringkuk di atas rakit yang terbuat dari pendayung perahu. Saat itu Pi Patel sudah berbulan-bulan berada di Samudera Pasifik. Pemuda itu sedang menunggu ajal.

(Tentang) Kutub Boekoe

BUKU. Bentuknya sederhana saja; hanya berupa lembaran-lembaran kertas yang berisikan tulisan, dikumpulkan jadi satu lalu diberi sampul. Jadilah dia apa yang kita sebut "buku".

Tetapi buku tidak sesederhana itu. Dia punya ruh. Punya nyawa yang membuatnya bergerak. Yaitu narasi! Tanpa narasi apalah artinya sebuah buku bukan? Dengan ruh inilah buku menyelami ruang batin pembacanya, menggerakkan emosi mereka, mempengaruhi pikirannya, bahkan tak sedikit yang sampai mengilhami. Lihat saja betapa banyak orang-orang yang 'berubah' setelah membaca buku. Entah itu perubahan positif atau sebaliknya.

Saya termasuk orang yang berhasil 'dipengaruhi' oleh buku. Sejak SD selera membaca saya telah menonjol. Tak ada koran bekas yang terlewatkan begitu saja sebelum saya membacanya. Mungkin dari itu pelan-pelan imajinasi saya berkembang. Ditambah kegemaran mendengar dongeng alias haba jameun dari almarhumah nenek, barangkali itulah yang pada akhirnya membawa saya pada profesi sebagai tukang tulis di salah satu perusahaan media di Aceh.

Saya juga masih ingat -dulu sekali- saat masih SD, seorang tetangga berkunjung ke rumah nenek saya, kebetulan saat itu saya sedang membaca koran bekas. Dia bilang "orang yang suka membaca biasanya cerdas". Sekarang setelah besar saya kian memahami pernyataan si tetangga tersebut.

Di rumah (saya menumpang di rumah saudara) saya punya beberapa koleksi buku. Dua tahun lalu saat renovasi rumah buku-buku itu saya masukkan ke kardus dan diletakkan di beberapa tempat terpisah. Di luar dugaan saya si pemilik rumah malah meminta agar buku-buku itu dikilokan. Katanya lumayan kalau dijual. Waktu itu saya sempat tersinggung juga. Tapi ya sudahlah, ini cuma masalah cinta dan tidak saja.

Sebagai pencinta buku, saya (memang) sering meletakkan buku bukan pada tempatnya seperti di tempat tidur. Biasanya saat saya pulang kerja buku-buku itu sudah kembali rapi di atas lemari. Walau si pemilik rumah tidak mengatakan apa-apa kadang kala terbit juga rasa tidak enaknya. Terfikir kalau buku-buku saya membuat rumahnya berantakan. Jika sudah begitu rasa tidak enak itu saya sembuhkan dengan membaca buku. Bagi saya buku itu bukan sekedar benda mati!

Kian ke sini saya mulai sering membeli buku, walau tidak rutin dan jumlah buku koleksi saya masih sangat terbatas. Sejalan dengan itu saya ingin memperlebar genre menulis saya, saya ingin interaksi saya dengan buku tidak hanya berakhir di halaman terakhir. Tetapi berkesinambungan, bisa dinikmati oleh orang lain dalam bentuk yang lain pula.

Karena itu mulai hari ini saya memutuskan membuat sebuah blog baru dengan title Kutub Boekoe. Kutub Boekoe menjadi tempat bagi semua catatan, resensi, review, atau apapun tentang buku. Seperti deskripsi yang saya tulis di bawah title blog; tempat semua narasi berujung. Kelak saya berharap buku-buku saya lah yang terpajang di sini. Aamiin Allahumma Aaamiin.[]